Bertanya Kepada Maaf

            Ketika aku bangun dari mimpi pagi yang tak berujung, mendapati kamar yang kotor dan sangat berantakan, ingin rasanya kembali tidur. “Astaghfirullah, aku belum salat,” teriakku spontan, mata pun terbelalak.

Jam enam pagi, tiba-tiba teringat jika aku belum menunaikan salat Subuh. Dengan langkah gontai aku menuju ke kamar mandi sekadar mencuci muka dan mengambil air wudu.

Setelah selesai bertegur sapa dengan dinginnya air, aku bertemu ibu.

“Ibu, kok, enggak bangunin aku sih? Salatnya jadi telat, nih,” ucapku.

“Tadi sudah Ibu bangunkan, tapi kamu hanya buka-tutup mata saja, terus malah mengabaikan Ibu. Ya, sudah Ibu biarkan sebangunnya kamu,” sahutnya.

Aku menyeka keningku yang basah sembari membantah dengan halus, “Ibu tahu, ‘kan, bagaimana hukumnya bagi orang tua yang merasa enggak tega sama anaknya untuk dibangunkan salat Subuh? Kalau dibiarkan malah dosa loh.”

            Tanpa ada percakapan lagi, aku bergegas pergi ke kamar untuk melaksanakan salat Subuh walau sudah tidak tepat waktu. Sajadah merah lembut bak kehangatan dalam dinginnya pagi ini, kugelar di atas lantai yang pasti ada ribuan debu halus singgah tak kasat mata.

Selesai menghadap pada Sang Kuasa, Ibu memasuki kamar saat aku sedang melipat mukena.

“Dek, maaf, ya. Tadi Ibu biarkan salat subuhmu terlambat. Besok kalau enggak bangun lagi ibu siram air aja, deh, ya?”

Sungguh hatiku dibuat terkejut. Bagaimana bisa seorang ibu meminta maaf pada anaknya sendiri, dan dengan begitu mudahnya kata maaf itu terucap tanpa merasa gengsi.

“Sudahlah, Lupakan saja! Bukan salah Ibu, kok,” ucapku.

“Ibu minta maaf, ya?” ujarnya tak mau berhenti meminta maaf.

“Sudah, Ibu. Aku mau merapikan kamar, nih. Lupakan saja, ya?”

“Iya sudah, Ibu minta maaf,” kata Ibu sekali lagi.

“Ibu! Itu salah aku tadi hanya buka-tutup mata saja. Salah aku, kok, karena mengabaikan panggilan azan. Mengabaikan panggilan Ibu juga salahku. Sudah, enggak usah minta maaf, ya?”

“Maaf, Dek,” ucapnya.

“Ibu!” sontak aku menaikkan nada bicaraku, ingin agar Ibu berhenti meminta maaf.

“Ya, sudah Ibu mau buat sarapan. Segera rapikan kamarmu! Selimutnya dilipat!

Lantainya disapu! Buang rontokan rambutmu yang ada di sudut lemari itu! Selalu saja kauselipkan di sana yang ujung-ujungnya hanya sempat kausapu sebulan sekali, kebiasaan kamu ini!”

            Suasana tak begitu kaku setelah percakapan maaf-memaafkan ini usai, dilanjut dengan perintah wanita setengah baya yang menyuruhku segera merapikan kamar yang berantakan.

            Kumainkan filter instagram pada ponsel yang melambai-lambai ingin dibuka. Memang godaan terberat setelah bertahanus di kamar itu adalah ponsel, walau hanya membukanya untuk memeriksa bahwa adakah pesan yang masuk atau tidak, itu saja tanpa ada niatan untuk membuka aplikasi lain.

Tanganku kebablasan menekan aplikasi apa saja untuk dimainkan, akhirnya terlalu lama juga aku berdiam diri di kamar.

“Ibu, sarapannya apa?” tanyaku kepada Ibu dari dalam kamar yang pintunya masih setengah tertutup.

“Mie saja, ya?” tanyanya balik.

“Oke,” jawabku.

“Sini bantuin ibu. Bapak sudah ada di ruang tamu loh, kelaparan perutnya.”

“Iya sebentar.”

            Sebentar, sebentar, dan sebentar. Kata yang sudah biasa aku ucapkan kepada orang tua sendiri. Terkadang walau sadar pun aku suka berkata “ah ih uh” pada setiap perintah ibu yang mengganggu kegiatanku.

Sering kutolak mentah-mentah perintahnya tanpa alasan apa pun. Inilah yang menyebabkan aku dicap “manja” oleh sebagaian keluargaku.

Bapak pernah mengatakan, “Besok kalau sudah punya suami mau kaumasakkan apa? Kalau punya anak mau kaudidik seperti apa? Apa pun profesimu kamu pasti jadi seorang istri. Kamu pasti jadi seorang ibu. Jadi enggak usah nolak kalau ibumu meminta bantuanmu memasak. Kamu itu bantuin ibu juga dapat pelajaran, enggak ada yang pernah bilang dapur itu pelajaran yang tidak bermanfaat! Justru sangat bermanfaat buat anak gadis seperti kamu.”

Kesal sekali rasanya kalau sudah dinasehati seperti ini, pasti aku hanya diam, menerima, dan tak kumasukkan dalam hati, ya sudah cukup diam dan menerima saja, tak pernah kurenungi.

Walau begitu aku ini adalah orang yang paling sabar, apalagi kalau sudah berhadapan sama bapak, harus sabar tingkat dewa. Mengingat sikapnya yang tak mau kalah, dan akan selalu menasehati anaknya dengan cara apa pun, ditambah lagi aku adalah seorang wanita.

Wanita itu dikenal sensitif. Walau seperti itu, aku tahu cara apa yang dipakai seorang bapak pada putri-putrinya yang berbuat semena-mena, pasti kasar, karena bapak itu sikapnya menguatkan, bukan menjengkelkan.

Di dapur …

“Aku mie rebus ayam bawang telur ajalah, Bu.”

“Iya, sebentar, “ Ibu menjawab pintaku dengan kata yang sering kuucapakan, “sebentar”.

“Bapak apa?” tanyaku pada ibu.

“Bapak tadi bilang, mau mie goreng aceh,”

“Ibu apa?” tanyaku lagi.

“Mie goreng level pedas tingkat dewa!” jawabnya melucu.

“Hahaha, ok, jangan tertukar bumbunya ya, Bu,” pesanku.

            Tak ada jawaban lagi, hanya muka datar Ibu setelah candaannya selesai dilontarkan. Mungkin begitulah raut wajahnya ketika ingin memberitahuku bahwa jika Ia ingin dibantu.

Aku tak pernah peduli dengan permintaan tolong Ibu pada diri ini. mau serepot apa pun dia, aku masa bodoh. Dari pada selalu mendengar ini-itu, aku lebih memilih untuk menghindar. Meninggalkan ibu dengan kerepotannya.

“Ah, lupakan saja, Ibu, ‘kan, sudah terbiasa masak mie, kamar juga belum bersih jadi harus kubersihkan,” kataku dalam hati.

Langkahku sedikit berlari menuju kamar. Sebentar, kuambil kembali ponsel di atas meja kamar yang bertumpuk buku-buku kecil, aku berbaring di kasur sambil memainkannya.

Hingga Ibu bersorak, “Mie udah matang … Dek! Diturunkan yuk!”

“Akhirnya sangkakala kelaparan perut bapak akan diam,” kataku dalam hati.

Di dapur …

“Ibu! Aku mie rebus sendiri, ya?”

“Iya. Itu air panasnya ada di termos, tuang sendiri, ya?”

“Loh, Bu, kok kuahku jadi merah, kok kelihatannya pedas? Kok mienya begini, sih, Bu? Ini bukan punya Ibu toh? Apa bukan punya Bapak? Enggak tertukar, ‘kan, bumbunya? Ibu!” sontak aku merasa kebingungan dan bertanya.

“Enggak Dek, itu punyamu, udah yuk makan di ruang tamu,” jawabnya santai.

            Kami sekeluarga tak pernah membeli meja makan, cukup dengan menikmati makanan di atas lantai samping ruang tamu berhiaskan bioskop televisi kecil untuk menemani suasana keluarga agar bertambah hangat.

Seketika itu pudar…

“Ibu, kok, pedas?” sontak aku mengejutkan Bapak dan Ibu. Mereka tahu bahwa aku tak suka pedas.

“Apa iya? Coba Ibu rasakan sini,” tanya Ibu tak percaya.

“Ibu! Kok punya Bapak ada telurnya? Seharusnya aku yang punya telur, mie rebus yang kupesan, ‘kan, ayam bawang telur,” sahutku

“Mah, kok rasa mie goreng aceh hambar begini, seharusnya pedas loh,” tambah bapak.

“Wah! Punyaku sama Bapak tertukar ini, Bu!”

“Gimana, sih, Mah? Kok, bisa tertukar begini,” ucap Bapak menaikkan nada suaranya.

“Iya, Mamah salah, Mamah minta maaf,” sahut Ibu meminta maaf.

“Punya Bapak, ‘kan, sudah aku tuangkan air panas untuk kuahnya! Terus bagaimana dong?”

“Sudah enggak apa-apa, bawa sini mie punya Bapak,” jawab Bapak.

            Aku dan Bapak bertukar mie seperti permainan, karena selalu saja ragu-ragu setiap kali menyodorkan mie itu. Mie rebus milikku yang belum dituang kuah masih akan terasa enak kalau ditambah air panas saja.

Bagaimana dengan Bapak? Mie gorengnya sudah terlumuri kuah dan tercampur pedas yang begitu menggugah kekhawatiran jikalau akan memakannya. Tapi kami tetap bertukar mie.

“Gimana, sih, Mah? Jadi enggak bisa sarapan enak nih,” sela Bapak saat kami bertukar mie.

“Iya, maaf, Pah,” lagi-lagi Ibu meminta maaf.

Tiba-tiba saja aku merasa suasana di pagi hari ini sangat canggung. Ibu menangis tersendat-sendat. Tubuhku terkujur kaku di hadapan mereka, dengan tatapan datarku yang tak berarti apa-apa terutama bagi Bapak.

Mengapa Ibu menangis? Terisak kasar oleh suaraku dan atau omelan bapak? Semua ini salah. Apa masalahnya?

“Dek, ibu minta maaf, ya? Pah, sini tukar mie sama Mamah, sama-sama pedas, kok. Biar Mamah yang makan punya Papah,” kata Ibu.

            Tukar-menukar mie terjadi lagi. Aku masih dalam tahap pura-pura sudah melupakan kejadian ini, tapi selalu saja gagal, sampai Bapak berkata padaku, “Sudah mah, enggak usah nangis, mamah enggak salah kok. Semua ini salah dia. Dari tadi malah asyik main ponsel di kamar, bukannya dibantu ibunya yang lagi masak.”

            Bapak mengarahkan perkataan kepadaku secara langsung. Aku terkejut dan menahan untuk tidak berbicara satu patah kata apa pun.

“Bapak, ‘kan, sudah pernah bilang, toh? Kamu itu anak gadis, bakal kerja di dapur juga. Enggak usah mengelak atau malah membantah ibumu kalau disuruh bantu-bantu. Bodoh sekali anak macam kamu ini. Enggak bisa diandalkan. Sangat bodoh!”

            Bapak itu selalu membesar-besarkan masalah. Aku benci dengan gejala sikapnya yang mulai terlihat untuk memperkuat akar masalahnya. Aku tidak tahu apa semua bapak di dunia seperti bapakku.

Tetapi kata-kata yang ia ucapkan di akhir kalimat itu terlalu menyentuh batinku, ingin kumenangis saat itu juga tanpa melihat sekeliling lagi. Aku hanya berkaca-kaca. Aku hanya diam menerima seperti biasanya, tapi kali ini aku masukkan segala yang ia ucapkan ke dalam hatiku.

“Aku ini wanita. Aku ini anak gadis. Aku ini sensitif. Ibu juga sama sepertiku. Sudahlah, ini hanya kesalahan kecil yang tak perlu dibesarkan. Kita bisa makan mie lagi setelah ini. Mengapa Bapak selalu memebesarkan masalah? Mengapa Bapak selalu menyakiti hati wanita? Mengapa Ibu selalu meminta maaf? Ibu tidak salah. Baiklah. Ini semua salahku. Aku minta maaf.”

Aku hanya berbicara dalam hati. Aku tak pernah benar-benar meyakini apa yang kuucapkan di dalam hati barusan. Aku bukan orang yang pandai meminta maaf. Kalau aku bisa berkata maaf, kalau aku bisa memaafkan, kalau aku bisa mengikhlaskan semua yang Bapak katakan, maka itu bukanlah aku, tetapi Ibu.

SELESAI

oleh : Rasya Raesita Prasanti, gadis kelahiran Bekasi tahun 2005. Ia tinggal di Jawa Tengah sejak usianya menginjak empat bulan. Memiliki hobi menulis puisi semenjak 13 tahun. Menjadi penulis merupakan suatu kewajiban seorang muslim bagi dirinya, karena dengan menulis manusia bisa mengubah dunia. Maka suatu kewajiaban pula bagi salah satu mimpinya untuk mengubah dunia. Karyanya bisa dikunjungi melalui blog rasyaraesita.blogspot.com.