Oleh : Rasya Raesita Prasanti (Siswi kelas XI MIPA SMA Muh Al Kautsar PK Kartasura)
Namanya Naira Ammara Paramita (17). Seorang siswi SMA swasta yang dahulunya belajar sebagai santri di sebuah pondok pesantren ternama di kawasan Boyolali, Jawa Tengah. Bercadar dan berlatar belakang keluarga yang sangat patuh terhadap agama Islam tentu tidak mengurungkan niatnya untuk belajar lebih banyak dari apa yang didapatkan saat di pesantren. “Nothing special about me,” katanya. “Kebetulan saya cuma anak yang punya keingintahuan besar tapi terhalang banyak hal,” tambahnya.
Banyak orang mengatakan bahwa sosok Naira seperti bunglon, karakternya berubah cepat sesuai dengan lingkungan sekitar. Tetapi, bagi dirinya ia merupakan sosok yang keras kepala terutama terhadap keinginan sendiri. Ia sering berpikir dirinya adalah seorang introver yang cerewet bicara dan sulit berada di tengah kerumunan.
“Aneh dan auranya Islam banget. Menurut saya dia pendiam dan sangat berhati-hati dalam bertindak,” pendapat Falah Alban, teman SMA Naira.
Baca buku, tidur, dan menulis imajinasi sudah menjadi kebiasaan sehari-hari bagi Naira. Bisa disebut ia orang yang cukup tergila-gila dengan buku, genre apa saja akan dibaca selama itu diizinkan orang tua.
“Saya baru tahu kalau Naira itu kutu buku. Darinya saya belajar banyak jika kebiasaan membaca itu menambah wawasan kita semakin luas,” ungkap Chika Radya, teman SMA Naira.
Kisahnya sulit membaca karya fiksi sudah dimulai dari kecil. Naira dapat menikmati karya fiksi dari komik yang berjudul Si Juki. Sedangkan film pertama yang ditonton adalah Astro Boy yang dikoleksi ibu di laptop pribadi. Keingintahuan berikutnya membaca karya fiksi terpenuhi saat berhasil menyelesaikan novel Emak karya Tere Liye. Ternyata membaca novel lebih mudah mendapat izin orang tua daripada komik dan film.
Pada usia 13 tahun novel bergenre fiksi ilmiah dan fantasi menjadi kegemaran Naira. Karya-karya dari Dan Brown, Rich Riordan, dan Akiyoshi Rikako seketika melahap imajinasinya. Tanpa ia sadari impian menjadi novelis menarik untuk ditekuni meskipun skill menulis yang ia miliki di bawah rata-rata.
Saat memasuki SMA menjadi insinyur adalah impian yang menarik perhatiannya. Naira terinspirasi dengan profesi insinyur karena melihat ibunya pernah mendesain tata letak rumah sebelum dibangun. Meskipun sang ibu bukan seorang insinyur, ia merasa ibu adalah orang yang serbabisa.
Niatnya menjadi insinyur seketika kandas. Ia menyadari saat menjadi insinyur kelak, kerjanya akan bersinggungan dengan laki-laki yang bukan mahramnya, dan hal seperti itu bertentangan dengan keyakinannya. “Ya sudahlah, minimal ada impian pekerjaan yang benar-benar saya impikan,” pasrah ia berkata.
Naira adalah satu-satunya siswi yang mengenakan cadar di sekolah. Mulai dari kelas tiga SD ternyata ia sudah memakai cadar walaupun kaus kaki masih jarang dikenakan. Seiring berjalannya waktu, Naira terbiasa memakai cadar dan lama-lama juga mengenakan kaus kaki.
“Waktu masih di pondok dengan nama Naira, saya sering dibully di kalangan warga pondok karena namanya seperti panggilan orang awam. Saya pernah dianggap kafir karena nama Naira, bahkan nama ayah saya pun ikut menjadi korban dan bagi saya itu cukup menyebalkan,” terangnya. Masalah yang Naira hadapi cukup membuat orang di kalangan manapun tercengang, karena kasus perundungan pun sudah dilakukan di masa kanak-kanak.
Sikap Naira yang tidak menghiraukan tuduhan dari orang lain menjadi senjata untuk terus melanjutkan pendidikan di pondok pesantren. Sampai suatu hari, masalah pun semakin besar hingga menyangkut pendapat kepala pondok. Masalah itu berangkat dari perbedaan paham mengenai pentingnya pelajaran umum bagi Naira dan keluarga.
“Masalah itu semakin parah waktu kepala pondok tahu kalau kakak saya sekolah di pesantren yang berlawanan mazhab dengan pondok saya. Jadi perundungan itu menular ke keluarga saya. Sebenarnya yang diperselisihkan hanya berkaitan dengan sistem pondok saya yang mementingkan pelajaran agama daripada pelajaran umum.” Naira juga menjelaskan jika sang ayah tidak setuju pada mereka yang menganggap pelajaran umum tidak penting.
Akibat dari masalah itu sang ayah memutuskan pindah rumah dari desa ke kota. Naira pun mengikuti keputusan ayahnya dengan pindah rumah sekaligus sekolah demi terhindar konflik yang dilatarbelakangi perbedaan mazhab. “Untungnya di sekolah baru ada banyak teman yang sesuai dengan saya, jadi tidak ada perundungan lagi. Konflik yang terjadi mungkin hanya sebatas senioritas dan kasus suka antar sesama jenis, begitulah sisi gelap dari pondok pesantren,” ujarnya.
Saat naik ke bangku kelas enam SD, Naira pindah sekolah lagi. Orang tuanya merasa di pondok sebelumnya ia justru semakin buruk, dan alasan inilah yang membuatnya keluar pondok. Memasuki kelas enam SD, Naira dan orang tuanya memilih untuk bersekolah yang bukan pesantren lagi, “Setiap hari akan diantar jemput sama orang tua,” tuturnya.
Bagi Naira sekolah yang baru tentu diimpikan untuk menjadi lebih baik. Namun masalah yang ia dapati selama di sekolah tidak pernah berhenti. Ada konflik internal yang dialaminya dengan guru-guru di sekolah baru. “Guru di sana menurut saya agak kekanak-kanakan. Karena saya murid pindahan dari institusi yang sama dan meraih peringkat satu, saya kurang disukai oleh guru-guru, tapi saya tidak begitu peduli,” katanya dengan ketus.
Saat ia lulus dari pondok pesantren di bangku SD dengan nilai kelulusan yang baik, ia pun berpikir untuk melanjutkan ke SMP yang bukan pondok pesantren lagi. Namun tidak adanya restu dari ibu, Naira kembali melanjutkan pendidikan SMP di pondok pesantren. Menerima pilihan orang tua masuk ke pondok untuk ke sekian kali membuatnya mencoba terus berprasangka baik.
Ia merasa pelajaran agama di pondok memang sangat baik, tapi berbeda dengan pelajaran umum yang sedikit ia peroleh. “Kalau saya mau ke dunia luar, jelas pengalaman yang saya peroleh di SMP waktu itu kurang,” katanya dengan kecewa.
Keputusan masuk SMA swasta ia tekadkan meski orang tua tidak memberi restu. Karena jika bersangkutan dengan sekolah yang basicnya bukan pondok, ada beberapa hal yang tidak disukai orang tua Naira. “Pertama, sekolahnya campur antara putra dan putri,” kata gadis bercadar itu. “Ditambah lagi pelajaran agama yang menurut orang tua saya belum tentu benar,” lanjutnya.
“SMA Muhammadiyah Al-Kautsar PK Kartasura memang membolehkan siswinya untuk bercadar, seperti Naira. Itu hanya perbedaan pendapat saja, dan selama perbedaan itu ke arah yang baik jadi tidak ada masalah,” tutur salah satu guru SMA Naira, Arini Haq.
Naira bercerita mengenai masalah mazhab yang dianut orang tuanya. Ayahnya sempat mendukung untuk ia belajar di luar pondok, kadang juga menentang karena perbedaan mazhab tentang pendidikan. Sedangkan ibunya, “Beliau sepenuhnya tidak mendukung ketika saya belajar di luar pondok, kalau saya bersikeras ibu tidak akan ikut campur apapun tentang sekolah saya, dan semuanya akan diurus oleh ayah,” kata Naira.
Dibalik semua pertentangan yang ada, Naira tetap menjanjikan hal-hal pasti untuk orang tuanya saat masuk SMA swasta. Ia mengatakan cadar tetap menjadi identitasnya dan tak akan pernah dilepas. Berbicara dengan anak laki-laki hanya seperlunya saja tanpa berlebihan. Maka dengan dua janji itu ia berhasil masuk ke SMA pilihannya.
Selama ini Naira masih beranggapan ia hidup terkurung di dunia kecil buatan orang tua. Sampai pada waktunya bebas, dengan bangga ia berkata, “Prestasi terbesar saya adalah berhasil masuk SMA pilihan saya sendiri.” Hal seperti ini mungkin terdengar konyol di mata orang, tapi bagi Naira ini menjadi langkah pertama yang diambil di luar dunia kecilnya.
“Apa yang bisa saya katakan adalah, kita semua berada di agama Islam yang sama. Tapi dalam agama itu sendiri masih banyak pertentangan, perbedaan, dan pemahaman. Saya tidak bisa mengatakan pemahaman siapa yang paling benar. Hanya ada satu hal yang pasti bahwa Tuhan kita satu, yaitu Allah,” pesan Naira.
Komentar Terbaru